Tag Archive: pasca panen



Download pdf lengkap chilling injuring dan degreening klik disini..!!

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah penanganan produk hortikultura setelah dipanen (pasca panen) sampai saat ini masih mejadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius baik dikalangan petani, pedagang, maupun dikalangan konsumen sekalipun. Walau hasil yang diperoleh petani mencapai hasil yang maksimal tetapi apabila penanganan setelah dipanen tidak mendapat perhatian maka hasil tersebut segera akan mengalami penurunan mutu atau kualitasnya. Seperti diketahui bahwa produk hortikultura relatif tidak tahan disimpan lama dibandingkan dengan produk pertanian yang lain.

Hal tersebutlah yang menjadi perhatian kita semua, bagaimana agar produk hortikultura yang telah dengan susah payah diupayakan agar hasil yang dapat panen mencapai jumlah yang setinggi-tingginya dengan kualitas yang sebaik-baiknya dapat dipertahankan kesegarannya atau kualitasnya selama mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangatlah perlu diketahui terlebih dahulu tentang macam-macam penyebab kerusakan pada produk hortikultura tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap penyebab kerusakannya. Selanjutnya perlu pula diketahui bagaimana atau upaya-upaya apa saja yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan terjadinya kerusakan tersebut sehingga kalaupun tejadi kerusakan terjadinya sekecil mungkin.

Pengaturan suhu dan penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat dapat mengurangi atau meniadakan terjadinya kerusakan pada komoditi hortikultura. Namun, jika pelaksaan keduanya tidak tepat malah akan menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas produk seperti chilling injury dan degreening. Sehingga pengetahuan akan pemanfaatan teknologi tersebut menjadi penting untuk dipelajari.

 

Tujuan

Kegiatan pratikum kali ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan pemberian gas etilen kepada beberapa jenis buah-buahan.

 

TINJAUAN PUSTAKA

Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia, Swingle.)

Tanaman ini termasuk ke dalam famili Rutaceae. Jeruk nipis merupakan salah satu jenis citrus Geruk. Tanaman ini berupa perdu dengan tinggi ± 3,5 m. Batang tanaman jeruk nipis berkayu, bulat, berduri, putih kehijauan. Daunnya majemuk, elips alau bulat telur, pangkal membulat, ujung turnpul, tepi beringgit, panjang 2,5-9 cm, lebar 2-5 cm, pertulangan menyirip, tangkai 5-25 mm, bersayap, hijau. Tanaman ini memiliki bunga majemuk atau tunggal, di ketiak daun atau di ujung batang, diameter 1,5-2,5 cm, kelopak bentuk mangkok, berbagi empat sampai lima, diameter 0,4-0,7 cm, putih kekuningan, benang sari 0,5-0,9 cm, tangkai sari 0,35-0,40 cm, kuning, bakal buah bulat, hijau kekuningan, tangkai putik silindris, putik kekuningan, kepala putik bulat, tebal, kuning, daun mahkota empat sampai lima, bulat telur atau lanset, panjang 0,7-1,25 cm, lebar 0,25-0,50 cm, putih. Buahnya berupa buni dengan diameter 3,5-5 cm, masih muda hijau setelah tua kuning. Bijinya berbentuk bulat telur, pipih, putih kehijauan. Akar tanaman ini berupa akar tunggang, bulat, dan berwarna putih kekuningan. Tanaman jeruk nipis pada umur 2 1/2 tahun sudah mulai berbuah. Tanaman jeruk umumnya menyukai tempat-tempat yang dapat memperoleh sinar matahari langsung.

Jeruk nipis mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat. Misalnya: limonen, linalin asetat, geranil asetat, fellandren dan sitral. Di samping itu jeruk nipis mengandung asam sitrat. 100 gram buah jeruk nipis mengandung vitamin C 27 mg, kalsium 40 mg, fosfor 22 mg, hidrat arang 12,4 g, vitamin B 1 0,04 mg, zat besi 0,6 mg, lemak 0,1 g, kalori 37 g, protein 0,8 g dan air 86 g.

 

Cabai Merah

Cabai atau cabai merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan.

Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur).

Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan sarang serta tidak tergenang air ; pH tanah yang ideal sekitar 5 – 6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret – April). Untuk memperoleh harga cabai yang tinggi, bisa juga dilakukan pada bulan Oktober dan panen pada bulan Desember, walaupun ada resiko kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit . Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering kemudian baru diambil bijinya: Untuk areal satu hektar dibutuhkan sekitar 2-3 kg buah cabai (300-500 gr biji).

Nutrisi cabai merah cukup banyak, khususnya kandungan vitamin A dan C di dalamnya. Dalam 100 g cabai merah terdapat vitamin C atau asam askorbat 190 mg. Sedangkan kandungan vitamin A adalah 5700 IU. Sedangkan kandungan mineral cabai merah antara lain kalsium, besi, magnesium, phospor, potassium, seng, dan lain-lain.

 

Chilling Injury

Chilling injury merupakan kerusakan akibat lingkungan pada suhu lingkungan rendah.  Disamping itu akan menyebabkan buah berkurang kekerasannya, aroma, dan umur simpan. Buah akan menjadi lunak sehingga aroma buah akan berubah menjadi agak busuk dan umur simpan menjadi pendek serta dapat mendatangkan mikroba dan akhirnya buah akan busuk. Setelah buah mengalami perubahan fisik / kerusakan maka nilai jual di pasaran akan turun bahkan tidak dapat dijual karena tidak bisa lagi dikonsumsi sebagaimana layaknya.

Degreening

Proses degreening yaitu proses perombakan warna hijau pada kulit jeruk diikuti dengan proses pembentukan warna kuning jingga.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti halnya lingkungan, tetapi juga oleh hormon yang ada didalam tanaman. Sejauh ini, peran hormon dalam tanaman belum mendapat perhatian khusus dari para petani kita. Padahal justru adanya hormon inilah yang bisa mempengaruhi tingkat produktifitas maupun kualitasnya.

Berkaitan dengan adanya hormon pada tanaman, seringkali kita mendengar istilah Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Perbedaan keduanya terletak pada terminologi yang digunakan. Dimana hormon merupakan zat yang dihasilkan di dalam tanaman secara alamiah sedangkan ZPT merupakan zat yang disentesis secara buatan oleh manusia sehingga dapat dikatakan bahwa hormon pasti ZPT namun ZPT belum tentu hormon. ZPT disintesis secara buatan dengan harapan agar tanaman memacu pembentukkan hormon yang sudah ada di dalam tubuhnya atau dengan kata lain dia menggantikan fungsi dan peran hormon bila tanaman tersebut gagal atau kurang dapat memproduksinya secara baik.

Hormon tanaman itu sendiri terbagi dalam beberapa kelompok diantaranya auxin, giberalin, sitokinin, ethylen dan inhibitor (growth retardant). Ethylen merupakan hormon yang berupa gas yang dalam kehidupan tanaman aktif dalam proses pematangan buah. Berkaitan dengan hormon tanaman, maka jenis ZPT yang beredar di pasaran pun beragam. Contoh ZPT diantaranya IBA, NAA, 2,4-D yang termasuk golongan hormon auksin, GA3 yang masuk hormon perangsang pertumbuhan golongan gas, Kinetin masuk golongan hormon sitokinin. Etephon (Protephon) termasuk golongan ethylen serta asicid acid yang termasuk golongan inhibitor.
Untuk tanaman yang menghasilkan buah seperti melon, semangka, timun, cabe, tomat dan lain sebagainya, peran hormon ethylen untuk merangsang cepatnya proses pematangan buah sangat dibutuhkan, apalagi saat petani dituntut untuk segera memenuhi kebutuhan produk tersebut sebagai akibat permintaan pasar yang besar. Meskipun pada prinsipnya setiap tanaman sudah memiliki hormon tersebut namun karena kondisi yang kurang kondusif baik yang dipengaruhi oleh internal maupun eksternal tanaman membuat zat-zat perangsang pertumbuhan seperti ethylen tanpa bantuan dari luar tentu tidak akan berjalan secara lancar.

Ethylen seperti yang disinggung sebelumnya merupakan hormon yang berbeda dengan hormon lain karena dalam keadaan normal, ethylen berbentuk gas (C2H4) dengan struktur kimia yang sangat sederhana. Ethylen ini sendiri dihasilkan dari proses respirasi buah, daun dan jaringan lainnya didalam tanaman. Apabila ZPT ini digunakan dalam jumlah yang cukup besar, maka hormon ini dapat digunakan untuk mempercepat pemasakan buah. Dengan adanya ZPT yang mengandung ethephon, maka kinerja sintetis ethylen berjalan optimal sehingga tujuan agar buah cepat masak bisa tercapai.

Dengan semakin pentingnya zat pengatur tumbuh dalam upaya merangsang hormon dalam tanaman, kini banyak beredar jenis- ZPT dengan fungsi dan kelebihan masing-masing. Untuk mempercapat pemasakan buah maka penggunaan ZPT berbahan aktif etephon merupakan langkah yang tepat.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Praktikum

Kegiatan pratikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 28 Oktober 2008 di Laboratorium Hortikultura Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sedangkan pengamatannya dilaksanakan dalam waktu satu minggu.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada percobaan Degreening adalah jeruk nipis dan ETP 40 ppm. Pada percobaan Chilling Injury bahan yang digunakan adalah cabe merah besar dan kertas koran. Alat pendingin digunakan sebagai tempat menyimpan bahan.

Metode Pratikum

Degreening

1.      Siapkan jeruk nipis, usahakan ukuran dan warnanya seragam (hijau tua)

2.      Siapkan larutan ETP 40 ppm encerkan dalam air 1 liter

3.      Masukkan jeruk nipis pada larutan ETP yang telah diencerkan, diamkan beberapa saat

4.      Setelah itu diangkat dan ditiriskan, simpan pada suhu ruangan

5.      Amati perubahan warna, kelunakan, dan aroma.

Chilling Injury

1.      Siapkan cabe merah besar yang masih keras (bagus, tidak cacat)

2.      Bungkus dengan koran, tipis saja

3.      Simpan dalam lemari pendingin dengan suhu 3 derajat

4.      Amati perubahan warna, kelunakan, dan aroma.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Grafik 1. Pola Hubungan Penggunaan Dosis Etephon terhadap Perubahan Warna Jeruk Nipis

 

Grafik 2. Pola Hubungan Penggunaan Dosis Etephon terhadap Perubahan Warna Jambu biji

 

Grafik 3. Pola Hubungan Penggunaan Dosis Etephon terhadap Perubahan Warna Pisang

 

Chilling Injury

Pada praktikum ini perlakuan chilling injury pada tanaman hortikultura ( buah-buahan), seperti: mentimun, cabe besar, wortel, tomat, papaya, mangga dan jambu biji. Telah kita ketahui bahwa sifat dari tanaman hortikultura adalah produk masih hidup sehingga masih melakukan kegiatan respirasi dan metabolisme. Bila lingkungan dalam penyimpanan atau bisa dikatakan perlakuan pasca panen tidak sesuai/ lingkungan yang tidak sesuai maka akan menyebabkan kerusakan pada komoditas hortikultura tersebut. Sehingga untuk mempertahankan kualitas produk hingga sampai ke tangan konsumen antara lain: penyimpanan suhu rendah dapat menurunkan laju respirasi, mengurangi efek etilen yang menyebabkan kematangan dengan cepat. Lingkungan yang tidak mendukung dapat mneyebabkan kerusakan yang produk. Misalnya saja Chiling injury merupakan kerusakan produk yang diakibatkan oleh suhu lingkungan yang terlalu rendah sehingga dapat menurunkan kualitas nilai produk untuk dipasarkan. Akibat yang ditimbulkan chilling injury, misalnya bintik-bimtik pada produk, perubahan warna,  pencoklatan, pematangan yang tidak normal, bahkan kebusukan pada produk.

Suhu penrilyimpanan untuk setiap komoditas berbeda-beda, sehingga pada saat satu produk tersebut sudah mengalami kerusakan fisik maka belum tentu produk yang lain juga mengalami kerusakan. Karena produk yang mnegalami kerusakan suhu penyimpanannya sudah melewati batas sedangkan produk lain masih bisa mentolerin.  Pada setiap kelompok berbeda-beda komoditasnya dan suhu penyimpanannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hampir seluruh komoditas pada suhu 3oC  buah tetap pada kondisi pada awalnya, sedangkan pada suhu 6OC buah sudah mengalami kerusakan fisik. Pada cabe besar ketika buah matang, tekstur permukaan luar licin dan mengkilat. Proses pematangan hingga warna merah dibaregi oleh akumulasi gula sederhana di dalam kulit buah. Dimana warna merah itu sendiri dipengaruhi oleh pigmen karotenoid. Kadang waktu pemanenan etepon digunakan untuk mempercepat pembentukan warna buah. Pada suhu penyimpanan 3OC mengalami agak keriput pada kulit buah dan adanya bintik hitam seperti antraknosa namun masih segar.kemudian untuk komoditas lain bagian dalam buahnya juga mengalami kerusakan seperti kelunakan buah. Sehingga dapat dikatakan bahwa buah akan mengalami perubahan warna menjadi kuning, kulit agak keriput, lunak.

Chilling injury merupakan kerusakan akibat lingkungan pada suhu lingkungan rendah.  Disamping itu akan menyebabkan buah berkurang kekerasannya, aroma, dan umur simpan. Buah akan menjadi lunak sehingga aroma buah akan berubah menjadi agak busuk dan umur simpan menjadi pendek serta dapat mendatangkan mikroba dan akhirnya buah akan busuk. Setelah buah mengalami perubahan fisik / kerusakan maka nilai jual di pasaran akan turun bahkan tidak dapat dijual karena tidak bisa lagi dikonsumsi sebagaimana layaknya. Oleh karena itu, perlu adanya pencegahan kerusakan akibat chilling injury, antara lain: peningkatan kelembaban ruang simpan, pemanasan ringan, penerapan penggunaan suhu penyimpanan bertahap, dan penggunaan kalsium. Dengan demikian, produk hortikultura dapat dijual di pasar dan tidak menurunkan kualitas produk bila disimpan pada suhu rendah.

Degreening.

Degreening pada buah jeruk nipis dengan pemberian etephon dengan dosis 10 ppm dan 20 ppm memberikan hasil warna yang tidak berbeda jauh. Sedangkan pada perlakuan etephon 10 ppm lebih cepat melunakkan kulit buah jeruk nipis. Pada buah jambu biji etephon dengan dosis 20 ppm lebih cepat membuat warna buah jambu biji berubah dari hijau menjadi kuning. Sedangkan pada pemberian etephon 10 ppm lebih cepat melunakkan buah jambu biji jika dibandingkan dengan perlakuan etephon 20 ppm. Pada buah pisang dengan etephon 10 ppm membuat warna buah menjadi kuning kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa etephon mempercepat kematangan buah pisang dan menyebabkan aroma buah lebih tajam jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian etephon).

Gas asetilen pada proses penguningan buah jeruk akan merangsang pembentukan gas etilen dalam sel. Gas etilen merombak klorofil pada kulit jeruk dan mensintesis pigmen karotenoid. Aktivitas perombakan tersebut hanya terjadi pada lapisan subepidermal kulit buah. Hasilnya kulit buah yang semula hijau berubah jadi jingga tanpa mengubah rasa buah. Hal itu dibuktikan oleh Dr Mohamad Soedibyo dan Ir Wisnu Broto, MS, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Bogor. Dalam penelitiannya pada 1992 Soedibyo menunjukkan degreening dengan menggunakan gas asetilen tidak mengubah nilai gizi jeruk. Sementara hasil penelitian Wisnu pada 1988, gas asetilen tidak mempengaruhi kadar gula total, kadar asam total, dan kadar vitamin C.

Degreening bisa diterapkan pada semua jenis jeruk. Namun, lazimnya jenis jeruk keprok dan mandarin karena ketika didegreening warna cenderung jadi jingga. Beda dengan siem yang berubah jadi kuning. ‘Warna kuning umumnya tidak disukai konsumen karena buah dianggap sudah terlalu matang atau sudah lama dipanen,’ kata Roedhy Poerwanto yang meraih gelar doktor dari Ehime University, Shikoku, Jepang.

Proses penguningan kulit buah itu tidak mempengaruhi kematangan buah. Oleh karena itu jeruk yang akan dikuningkan harus memiliki kematangan yang cukup sehingga kualitas rasanya baik: manis. Warna kuning sekurang-kurangnya 70%. Dengan begitu warna yang dihasilkan akan lebih menarik, jingga mengkilap. Bila kurang dari itu biasanya kuningnya pucat sehingga tak menarik, kata Wisnu.

Sementara menurut Ir Retno Pangestuti, peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, jeruk yang masih berwarna hijau pun bisa didegreening dengan syarat sudah matang. Namun, biasanya semburat warna hijau yang digunakan 10 -20%. Kalau kurang dari itu kekuningan buah dalam degreening tidak seragam, kecuali ada pemilihan buah sebelumnya.

Secara teoritis dari segi fisiologi tumbuhan disebutkan bahwa mekanisme kerja ethephon dalam proses pemasakan buah sebagai berikut:

1.      Pada tingkat molekular C2H4 (ethephon) dalam proses klimaterik , buah terikat pada ion logam dan enzim yang berfungsi untuk mempercepat proses respirasi untuk merubah karbohidrat menjadi gula sehingga proses pemasakan menjadi lebih cepat. Hal ini akan berpengaruh pada aroma, warna dan rasa buah yang diberi perlakuan ethephon.

2.      Adanya ethephon menyebabkan enzim lebih mudah mencapai substrat karena akan mempercepat proses respirasi di dalam buah dan mempercepat pula proses perubahan karbohidrat menjadi gula sehingga proses pemasakan menjadi lebih cepat. Hal ini akan berpengaruh pada aroma, warna dan rasa buah yang telah diberi perlakuan etephon.

3.      Ethephon menyebabkan enzim lebih mencapai substrat , karena akan mempercepat pula proses respirasi di dalam buah dan mempercepat pula proses perubahan karbohidrat menjadi gula pada proses klimaterik dan penuaan buah.

4.      Prothephon pada tingkat sel akan menyebabkan melokeul C2H4 lebih mudah masuk dalam kedalam membran karena C2H4 mampu menambah permeabilitas membran sel maupun membran-membran bagian sub seluler sehingga membran substrat akan lebih mudah dicapai oleh enzim respirasi karena C2H4 mudah larut dalam air dan lemak.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Jeruk nipis. www.IPTEKnet.com. [20 November 2008].

Anonim. 2008. Citrusa urantium.http://www.smecda.com. [20 November 2008].

Anonim. 2008. Cabai. www.wikipedia.com. [20 November 2008].

Anonim. 2008. Cabai merah. http://www.cabai merah\dapur mlandhing » Cabai     Merah.htm. [20 November 2008].

Apriyanti, R. N. 2008. Pergi hijau berkat karbit. http://www.trubus-online.co.id.    [24 November 2008].

Beveridge, T. H. J. (2003).Maturity and Quality Grades for Fruits and Vegetables”. In Handbook of Postharvest Technology, cereals, fuits, vegetables, tea and spices. Ed. A. Chakraverty, .. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H. S. Ramaswamy. Marcel Dekker, Inc. New York.

Pantastico, E.B. 1975. Postharvest Phyisiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Conecticut

Rubatzky,E  Vincent and Mas Ymaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3. Prinsip, Produksi dan Gizi. ITB Bandung.320 hal.

Tjionger, Menas. 2008. Prothephon 480 SL biar melon cepat masak dan        berkualitas. www.etephon\hal1001.htm. [20 November 2008].

 


Download pdf lengkap Pembuatan Kopra klik disini…!!!

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia. Indonesia merupakan merupakan negara tropik yang terletak di daerah khatulistiwa, sehingga banyak tanaman dapat tumbuh di Indonesia. Salah satunya adalah tanaman kelapa.

Tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, maka tidak heran terdapat banyak tanaman kelapa di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang mempunyai areal luasan penanaman kelapa yang paling besar di dunia, yaitu sebesar 3,7 juta Ha. Namun sangat disayangkan, ekspor produk kelapa indonesia masuh dibawah negara Filipina. Ekspor produk kelapa indonesia hanya sekitar 228,8 ribu US $ masih dibawah filipina yang mencapai 757.3 US $. Hal tersebut dikarenakan rendahnya kualitas produk kelapa negara Indonesia, sehingga kalah bersaing dengan produk asal filipina dan malaysia. Data tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.

Kopra merupakan salah satu produk turunan tanaman kelapa yang sangat penting. Pada tahun 2005 volume ekspor kopra hampir mencapai 50 ribu ton, dan nilai ekspor kopra menempati peringkat tiga setelah minyak kelapa dan minyak goreng dalam volume dan nilai ekspor produk turunan kelapa. Informasi selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 2.

Peningkatan kualitas dan kuantitas serta efisiensi dalam kegiatan produksi kopra dinilai merupakan suatu hal yangn harus dilakukan agar nilai ekspor kopra dapat terus ditingkatkan. Sehingga dapat dijadikan sebagi sumber devisa tambahan bagi negara Indonesia.

Tujuan

Kegiatan pratikum pembuatan kopra memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

1.      Mengetahui cara sederhana pembuatan kopra

2.      Mengetahui bobot kopra yang dapat dihasilkan dari satu buah kelapa

3.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kopra yang diperoleh

TINJAUAN PUSTAKA

Kopra adalah daging buah yang dikeringkan. Kopra merupakan salah satu produk turunan kelapa yang sangat penting. Pada tahun 2005 volume ekspor kopra hampir mencapai 50 ribu ton, dan nilai ekspor kopra menempati peringkat tiga setelah minyak kelapa dan minyak goreng dalam volume dan nilai ekspor produk turunan kelapa.

Teknik pengolahan kopra ada empat macam, yatiu Sun drying copra, smoke dried copra, kombinasi antara sun drying copra dengan smoke dried copra, dan pengolahan copra dengan aliran udara kering. Kopra yang baik sebaiknya hanya memiliki kandungan air 6% – 7% agar tidak mudah terserang organisme pengganggu. Kerusakan yang terjadi pada kopra pada umumnya disebabkan oleh serangan bakteri dan serangan cendawan. Serangan tersebut mudah terjadi jika kadar air dalam kopra tinggi, kelembaban udara mencapai 80% atau lebih dan suhu atmosfer mencapai 30°C. Cendawa yang sering menyerang kopra adalah cendawa Rhizopus sp, Aspergillus niger, dan Penicillium glaucum. Terdapat 4 kualitas kopra, yang diantaranya adalah highgrade copra dan mixed copra.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan pratikum pengolahan kopra dimulai pada tanggal 9 Desember 2008 di halaman gudang Kebun Percobaan Babakan sampai dengan 15 Desember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan pratikum ini adalah buah kelapa segar sebanyak 3 buah kelapa untuk masing-masing kelompok. Alat yang pakai adalah golok untuk membelah kelapa dan timbangan untuk menimbang bobot buah kelapa selama satu minggu.

Metode Pelaksanaan

1.      Setiap kelompok pratikum pasca panen diberikan buah kelapa sebanyak tiga buah

2.      Buah kelapa yang sudah didapat dibelah dan dibuang airnya

3.      Buah kelapa dijemur selama satu minggu sehingga diharapkan sudah menjadi kopra, dan

4.      Ditimbang beratnya setiap hari dalam satu minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama kegiatan pratikum dihasilkan dihasilkan data bahwa setelah dijemur selama satu minggu berat kelapa berkurang sebesar 30 %. Pengurangan berat sebesar 30 % dinilai masih belum layak untuk dijual menjadi kopra, karena berat buah kelapa masih belum stabil dan masih dapat terus berkurang. Berkurangnya bobot kelapa terjadi lambat karena keadaan cuaca yang setiap hari mendung atau hujan sehingga sinar matahari terhalang oleh awan dan pada akhirnya menghambat pembentukan kopra. Rata-rata pengurangan bobot sejitar 5 %.  Namun dihari kelima tidak terjadi hujan sehingga pengeringan kelapa berlangsung efektif yaitu sampai dengan 10 % hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik Penurunan Berat Berdasarkan Satuan Gram dan %

Berat kelapa sebesar 70 % setelah penjemuran dirasa masih belum baik untuk disimpan menjadi kopra, karena kandungan kadar airnya yang masih terlalu tinggi. Data tesebut dapat dilihat dalam tabel 1. Sehingga dikhawatirkan akan mudah terserang organisme pengganggu seperti bakteri dan cendawan. Serangan tersebut mudah terjadi jika kadar air dalam kopra tinggi, kelembaban udara mencapai 80% atau lebih dan suhu atmosfer mencapai 30°C. Cendawa yang sering menyerang kopra adalah cendawa Rhizopus sp, Aspergillus niger, dan Penicillium glaucum. Bahkan buah kelapa sudah ada yang terserang organisme pemgganggu. Serangan ini membuat kelapa berwarna orange dan lama-kelamaan berubah menjadi warna hitam.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengeringan dengan Matahari pada 3 Buah Kelapa

Kelapa Bobot (Gram)
1 2 3 4 5 6
1 590 550 510 500 480 430
2 620 560 530 500 480 430
3 580 570 550 510 500 450
Total 1791 1682 1593 1514 1465 1316
Rata-rata 597 560,6667 531 504,6667 488,3333 438,6667
Berat kopra (%) 100 93,91401 88,62269 83,6635 80,42704 70,25639

KESIMPULAN DAN SARAN

Teknik yang digunakan dalan kegiatan pratikum pembuatan kopra kali ini adalah teknik sun drying copra. Bobot kopra yang dihasilkan sebesar 70 % dari berat awal kelapa, seingga masih belum layak untuk dijual sebagai kpra karena kadar airnya yang masih terlalu tinggi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan matahari saat pengeringan.

Teknik pengolahan yang lain dapat dilaksanakan pada pratikum selanjutnya agar dapat dibandingkan hasilnya dengan kopra hasil teknik sun drting kopra.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitanedia Press. 768 hal

Dinperindag. 2007. Kebijakan Pengembangan Industri Berbasis Kelapa di Sulawesi Utara. Dinperindag. Manado. 39 hal

Ima. 2000. Kualitas Buruk, Harga Kopra Anjlok. http://www.kompas.com/. 12 Januari 2009

Pritawan, J. 2008. Jual Kopra Kualitas Tinggi Harga Rp 2.900 Franco Gudang Pembeli. http://www.gratisiklan.com/classifieds-ads/jual-kopra-kualitas-tinggi-harga-rp2900-franco-gudang-pembeli.html. 12 Januari 2009.


Download lengkap pdf PASCA PANEN minyak kelapa klik disini..!!!

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembuatan minyak kelapa merupakan tindakan pasca panen yang sangat penting untuk buah kelapa. Minyak kelapa merupakan bagian paling berharga dari buah kelapa. Minyak kelapa sering dipergunakan sebagai bahan baku industri dan  pembuatan minyak goreng. Selain itu, minyak kelapa baik digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Maka, tidak heran minyak kelapa atau yang biasa dikenal sebagai virgin coconut oil ini sempat menjadi incaran banyak orang.

Teknik pembuatan minyak kelapa yang baik dapat meningkatkan dan menjaga kualitas dan kuantitas minyak yang dihasilkan. Minyak kelapa dapat diekstrak dari daging buah kelapa. Mengekstrak minyak dari daging buah kelapa merupakan teknik pembuatan tradisional yang masih sering dipergunakan karena mudah dilakukan serta tidak memerlukan banyak biaya. Namun masih terdapat kelemahan pada teknik tersebut yaitu rendahnya rendemen yang dihasilkan.

 

Tujuan

Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dari  pratikum pembuatan minyak kelapa secara tradisional, yaitu:

1.      Mengetahui teknik pembuatan minyak kelapa secara tradisional yang baik.

2.      Mengetahui rendemen minyak yang dihasilkan dari teknik pembuatan minyak kelapa secara tradisional

3.      Mengetahui waktu yang diperlukan dalam pembuatan minyak kelapa secara tradisional

4.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan dari pembuatan minyak kelapa secara tradisional

 

TINJAUAN PUSTAKA

Minyak kelapa adalah minyak yang dihasilkan dari buah kelapa. Minyak kelapa dapat diekstrak dari daging buah kelapa segar atau diekstrak dari daging kelapa yang sudah dikeringkan.

Minyak kelapa memiliki banyak manfaat bagi manusia. Minyak kelapa biasa digunakan untuk berbagai bahan baku industri atau sebagai minyka goreng. Selain itu, minyak kelapa dapat dipakai untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit seperti diabetes, jantung, kolesterol, kangker, dan lain-lain. Hal ini salah satunya dikarenakan miyak kelapa memiliki kandungan asam laurat yang tinggi.

Teknik pembuatan minyak kelapa secara umum dapat digolongkan menjadi 3 cara, yaitu teknik basah, teknik pres, dan teknik ekstraksi pelarut. Teknik basah merupakan teknik yang paling sederhana. Secara garis besar minyak yang dihasilkan dari teknik ini adalah dengan memisahkan minyak pada santan hasil remasan parutan buah kelapa segar. Pemanasan dan sentrifugasi merupakan cara yang digunakan untuk memisahkan minyak pada santan yang dihasilkan. Namun, dengan melakukan intensifikasi teknik basah ini dapat digolongkan lagi menjadi tekinik basah tradisional, basah fermentasi, basah lava process, dan teknik basah kraussmaffei process. Teknik pres dan ekstraksi pelarut menggunakan kopra sebagai bahan bakunya dan memerlukan biaya relatif besar karena harus membeli alat, mesin, dan larutan pelarut.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan pratikum pembuatan minyak kelapa dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan pada tanggal 16 Desember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada pratikum ini adalah 18 buah kelapa yang sudah dikupas sabut kelapanya. Alat yang digunakan adalah mesin parut kelapa, alat pengaduk, kompor, dan minyka tanah.

Metode Pelaksanaan

Buah kelapa yang sudah tidak ada sabutnya diparut dengan menggunakan mesin parut kelapa. Parutan kelapa, kemudian ditambahkan air untuk diambil air santannya. Air santan yang sudah terkumpul direbus dalam kuali besar disertai pengadukan yang terus-menerus. Setelah kurang lebih satu jam perebusan, minyak kelapa akan terpisah dan terlihat bening dibagian atas. Dan akhirnya, minyak kelapa dapat dipisahkan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pada kegiatan pratikum pembuatan minyak kelapa, dilakukan kegiatan pengamatan terhadap bobot kelapa tanpa sabut, bobot parutan kelapa, bobot santan yang dihasilkan, dan bobot ampas hasil perasan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa jumlah air santan yang dihasilkan berbanding lurus dengan bobot kelapa dan bobot hasil parutan. Hal ini dikarenakan sebagian besar bobot kelapa dan bobot parutan berpotensi untuk dijadikan air santan. Sehingga semakin besar bobot kelapa dan jumlah parutan maka potensi air santan yang dihasilkan akan semakin besar pula dan sebaliknya. Namun, jumlah air santan yang dihasilkan berbanding terbalik dengan jumlah ampas yang dikeluarkan. Hal ini karena amapar dan santan adalah komponen kelapa. Sehingga semakin kecil ampas yang ada maka santan yang dihasilkan akan semakin banyak, begitu juga sebaliknya. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada gambar dan tabel 1.

 

 

Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Bobot Kelapa, Jumlah Parutan, Jumlah Ampas, Dan Sanan Yang Dihasilkan.

 

Tabel 1. Jumlah Total dan Rata-Rata Bobot Kelapa, Berat Parutan, Berat Ampas, dan Jumlah Santan yang Dihasilkan.

No Bobot kelapa Berat parutan berat ampas hasil santan
(g) ( g ) ( g ) ( ml )
1 850 849 500 1250
2 1050 900 450 1830
3 850 800 600 1200
8 850 800 350 1400
Total 3600 3349 1900 5680
Rata-rata/2 buah kelapa 900 837,25 475 1420

 

Jumlah total santan yang dipanaskan              = 5 liter

Waktu pemanasan                                           = 1 Jam 25 Menit

Minyak yang dihasilkan                                  = 680 ml

% Minyak yang dihasilkan                              = 12 % santan dan 24 % bobot kelapa

 

Minyak kelapa yang dihasilkan dari kegiatan pratikum ini sebanyak 680 ml dari 10 buah kelapa. Hasil ini dinilai masih kecil dari yang seharusnya dapat mencapai 2 – 3 liter per 20 kelapa. Selain itu, minyak yang dihasilkan hanya 24 % dari yang seharusnya dapat mencapai 34.7%. Rendahnya hasil rendemen yang diperoleh dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, kandungan minyak yang ada di dalam kelapa yang digunakan. Kandungan minyak kelapa sangat dipengaruhi oleh banyak variabel yang sangat berpengaruh. Selain habitat tanaman kelapa yang dipakai, varietas juga sangat berpengaruh, umur pohon kelapa yang lebih tua jauh lebih baik, demikian pula umur panen buah kelapa segar serta cara penyimpanan buah kelapa segar yang sudah di panen. Buah kelapa segar yang sudah masak sebaiknya tidak langsung di olah. Buah kelapa yang cukup umur untuk dibuat sebagai bibit, memiliki kandungan total minyak yang maksimal.

Kedua, teknik pembuatan minyak kelapa yang tidak efektif dan tidak efisien. Tempat perebusan relatif tidak begitu besar sehingga diperlukan waktu yang lebih lama dalam pembuatan minyak kelapa. Selain itu, api yang digunakan tidak sempurna. Sehingga akan menghambat pemisahan antara minyak dengan dan blendo. Kemudian sentrifugasi yanh lambat juga menjadi faktor penghambat dalam pemisahan minyak dengan blendo yang dihasilkan.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Teknik pembuatan minyak kelapa pada kegiatan pratikum pembuatan minyak kelapa yang telah dilakukan masih tergolong sangat sederhana dan kurang efisien, sehingga hasil minyak kelapa yang diperoleh menjadi  tidak maksimal. Kondisi buah kelapa yang digunakan dan teknik pembuatan minyak kelapa yang dipakai sangat menentukan rendemen minyak kelapa yang dihasilkan.

Teknik pembuatan minyak kelapa yang lain, seperti cara basah fermentasi, cara basah lava process, dan cara lainnya dapat dipratikumkan, sehingga dapat dibandingkan hasilnya dengan teknik basah sederhana.

 

DAFTAR PUSTAKA

Baswardjojo, D. 2005. Seluk Beluk Pembuatan Minyak Kelapa dan VICO.INDO-COCO.-:1-8

http://www.rusiman.bpdas.pemalijratun.net/index.php?view=article&catid=1%3Apen golahan-pangan&id=63%3Aminyak-kelapa&format=pdf&option=com_con tent&Itemid=402

http://www.minyakvco.com/index.php

http://www.ristek.go.id


Download lengkap pdf Laporan Penggilingan Padi klik disini..!!

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah tingginya kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan pasca panen meliputi proses pemanenan padi, penyimpanan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga menjadi beras. BPS (1996) menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,51%, dimana kehilangan saat pemanenan 9,52%, perontokan 4,78 %, pengeringan 2,13% dan penggilingan 2,19%. Besarnya kehilangan pasca panen terjadi kemungkinan dikarenakan sebagian besar petani masih menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan mekanis tetapi proses penanganan pasca panennya masih belum baik dan benar.

Pemerintah perlu lebih mengkampanyekan penanganan pasca panen yang baik, sampai usaha ini mendapat respon yang baik dari petani. Jika tingkat kehilangan panen bisa ditekan sampai minimal 0,5 sampai 1 persen untuk setiap kegiatan pasca panen dan secara bertahap dapat dikurangi sampai 3 sampai 5 persen berarti total produksi padi yang bisa diselamatkan mencapai 1,59 sampai 2,65 juta ton. Suatu jumlah yang sangat besar untuk mendukung mengamankan target produksi beras nasional setiap tahunnya (Purwanto, 2005).

Penggilingan padi mempunyai peranan yang sangat vital dalam mengkonversi padi menjadi beras yang siap diolah untuk dikonsumsi maupun untuk disimpan sebagai cadangan. Dalam kaitan dengan proses penggilingan padi, karakteristik fisik padi sangat perlu diketahui karena proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran padi menjadi beras putih. Butiran padi yang memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak enak dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagian tersebut dilepaskan sampai akhirnya didapatkan beras yang enak dimakan yang disebut dengan beras sosoh (beras putih).

Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari proses penggilingan padi dan mutu fisik beras.

TINJAUAN PUSTAKA

Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3% atau dengan kata lain setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto, 2001).

Secara umum mutu beras dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu mutu giling, mutu rasa dan mutu tunak, mutu gizi, dan standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar, bentuk dan kebeningan beras).

Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun (Allidawati dan Kustianto, 1989).

Saat ini telah dibuat RSNI mengenai mutu beras giling yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Mutu beras: RSNI 01-6128-200x

No. Komponen Mutu Satuan Mutu
I II III IV V
1 Derajat sosoh (min) % 100 100 95 95 95
2 Kadar air (max) % 14 14 14 14 14
3 Butir kepala (min) % 95 89 78 73 60
4 Butir patah total (max) % 5 10 20 25 35
5 Butir menir (max) % 0 1 2 2 5
6 Butir merah (max) % 0 1 2 3 3
7 Butirkuning/rusak (max) % 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (max) % 0 1 2 3 5
9 Benda asing (max) % 0 0.02 0.02 0.05 0.20
10 Butir gabah (max) Butir/100g 0 1 1 2 3

 

Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan lapisan aleuron, sebagian mapun seluruhnya agar menhasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang lapisan aleuron yang menempel pada beras. Selama penyosohan terjadi, penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir patah. Menir merupakan kelanjutan dari butir patah menjadi bentuk yang lebih kecil daripada butir patah (Damardjati, 1988).

Menurut Nugraha et al.(1998), nilai rendemen beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan yang meliputi varietas, teknik budidaya, cekamaman lingkungan, agroekosistem, dan iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam proses konversi gabah menjadi beras, yaitu teknik penggilingan dan alat penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas beras terutama derajat sosoh yang diinginkan, karena semakin tinggi derajat sosoh maka rendemen akan semakin rendah.

Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan. Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase beras patah menjadi semakin meningkat pula.           Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas beras kepala, beras patah, dan menir (Anonim, 1983). Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras kepala merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10 bagian sampai 6/10 bagian beras utuh. Menir memiliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan 2.0 mm (Waries, 2006).

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan di tempat penggilingan padi Sawah Baru, Darmaga, Bogor. Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 9 September 2008.

 

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah gabah kering giling dari beras varietas Way Apo Buru, karung, dan plastik. Sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan dan mesin penggiling padi.

 

Metode Percobaan

1.      Timbang gabah sebanyak 50 kg. Gabah harus diketahui varietasnya yaitu Way Apo Buru, asal gabah, waktu pemanenan, kadar air gabah, dan langsung dikeringkan sampai kadar air 14% baik melalui penjemuran atau menggunakan alat pengering. Gabah yang sudah kering sebaiknya dicegah tidak terkena hujan karena dapat meningkatkan butir patah dan menir.

2.      Proses pemecahan kulit (husker). Pada tahap ini, tumpukan gabah disiapkan di dekat lubang pemasukan (corong sekam) gabah. Mesin penggerak dan mesin pemecah kulit dihidupkan, kemudian corong sekam dibuka-tutup dengan alat klep penutup. Proses pemecahan kulit berjalan baik bila tidak ada butir gabah pada beras pecah kulit. Namun, bila masih ada banyak butir gabah, harus disetel kembali struktur rubberroll dan kecepatan putarannnya. Pada proses ini akan dihasilkan beras pecah kulit (brown rice).

3.      Proses penyosohan beras (polisher). Proses ini menggunakan alat penyosoh tipe friksi yaitu gesekan antar butiran, sehingga dihasilkan beras yang bening. Beras pecah kulit disosoh dua kali. Perlu diperhatikan kecepatan putaran untuk mencapai beras berkualitas dengan menyetel gas pada mesin penggerak dan menyetel katup pengepresan keluarnya beras. Pada tahap ini dihasilkan beras sosoh.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berat gabah awal = 50 kg

Berat beras sosoh (beras putih) = 30.5 kg

Rendemen = Berat beras sosoh x  100% = 30.5 kg x  100% = 61%

Berta gabah awal                       50 kg

 

Tabel 2. Berat Beras Kepala, Beras Patah, dan Menir Hasil Penggilingan (dalam     100 gram)

No. Ukuran Beras Berat (gram) Persentase (%)
1 Beras kepala 40.1 41.2
2 Beras patah 16.1 16.6
3 Menir 41.0 42.2
Jumlah 97.2 100

 

Pembahasan

Penggilingan merupakan proses pelepasan sekam dari beras. Karakteristik fisik padi sangat perlu diketahui karena proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran padi menjadi beras putih. Butiran padi yang memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan, atau tidak enak dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagina tersebut dilepaskan satu demi satu sampai akhirnya didapatkan beras yang dapat dikonsumsi yang disebut dengan beras sosoh atau beras putih. Beras sosoh merupakan hasil utama proses penggilingan padi. Beras sosoh adalah gabungan beras kepala dan beras patah besar. Beras patah kecil atau menir sering disebut sebagai hasil samping karena tidak dikonsumsi sebagai nasi seperti halnya beras kepala dan beras patah besar. Jadi, hasil samping proses penggilingan padi berupa sekam, bekatul, dan menir.

Mesin-mesin penggilingan padi berfungsi melakukan pelepasan dan pemisahan bagian-bagian butir padi yang tidak dapat dimakan dengan seminimal mungkin membuang bagian utama beras dan sesedikit mungkin merusak butiran beras. Terdapat dua tahap dalam proses penggilingan yaitu husking dan polishing. Husking adalah tahap melepaskan beras yang menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Dari struktur butiran gabah, bagian-bagian yang akan dilepaskan adalah palea, lemma, dan glume. Seluruhnya bagian tersebut dinamakan kulit gabah atau sekam. Sebagian besar gabah yang dimasukkan ke dalam mesin pemecah kulit (husker) akan terkupas dan masih ada sebagian kecil yang belum terkupas. Butiran gabah yang terkupas akan terlepas menjadi dua bagian, yaitu beras pecah kulit dan sekam. Selanjutnya butiran gabah yang belum terkupas harus dipisahkan dari beras pecah kulit dan sekam untuk dimasukkan kembali ke dalam mesin pemecah kulit.

Proses pengupasan akan berjalan baik apabila gabah memiliki kadar air yang sesuai yaitu antara 13-15%. Pada kadar air yang lebih tinggi proses pengupasan akan sulit karena sekam sulit dipecahkan. Sebaliknya, pada kadar air yang lebih rendah, butiran padi akan mudah pecah atau patah sehingga akan menghasilkan banyak beras patah atau menir. Untuk mendapatkan kualitas pengupasan yang baik, maka penyetelan mesin pemecah kulit perlu dilakukan secara tepat.

Sedangkan polishing adalah proses penyosohan beras yang menghasilkan beras sosoh/beras putih. Mesin yang digunakan pada proses ini disebut polisher.Penyosohan dilakukan untuk membuang lapisan bekatul dari butiran beras. Di samping membuang lapisan bekatul, pada proses ini juga dibuang bagian lembaga dari butiran beras. Untuk mendapatkan hasil yang baik, proses ini biasanya dilakukan beberapa kali, tergantung pada kualitas beras sosoh yang diinginkan. Makin sering proses penyosohan dilakukan, atau makin banyak mesin penyosoh yang dilalui, maka beras sosoh yang dihasilkan makin putih dan beras patah yang dihasilkan makin banyak. Setelah beras disosoh menjadi berwarna putih, selanjutnya beras dapat digosok lagi dengan sedikit tambahan uap air agar memiliki permukaan halus dan warna mengkilap.

Dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras sosoh, berat biji padi akan berkurang sedikit demi sedikit selama proses penggilingan akibat dari pengupasan dan penyosohan. Bagian-bagian yang tidak berguna akan dipisahkan sedangkan bagian utama yang berupa beras dipertahankan. Namun tidak dapat dihindarkan sebagian butiran beras akan patah selama proses penggilingan.

Kualitas fisik gabah terutama ditentukan oleh kadar air dan kemurnian gabah. Yang dimaksud dengan kadar air gabah adalah jumlah kandungan air dalam butiran gabah. Sedangkan tingkat kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat keseluruhan campuran gabah. Makin banyak benda asing atau gabah hampa atau rusak dalam campuran gabah maka tingkat kemurnian gabah makin menurun.

Kualitas gabah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan. Kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Hasil rendemen yang diperoleh kelompok kami dalam praktikum kali ini sebesar 61%. Nilai ini belum mancapai kriteria rendemen yang baik karena menurut literatur, proses penyosohan berjalan baik bila rendemen beras yang dihasilkan sama atau lebih dari 65% dan derajat sosoh sama atau lebih dari 95%.

Menurut Nugraha et al. (1998), nilai rendemen giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan, yang meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem, dan iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam proses koversi gabah menjadi beras, yaitu teknik penggilingan dan alat/mesin penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas beras terutama derajar sosoh yang diinginkan, karena semakin tinggi derajat sosoh, maka rendemen akan semakin rendah.

Beras sosoh dipisahkan menjadi beberapa ukuran, yaitu beras kepala, beras patah, dan menir. Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah dan menir minimal. Dari hasil percobaan yang kami peroleh, didapat persentase beras kepala adalah sebesar 41.2%, beras patah 16.6%, dan menir 42.2%. Besarnya persentase menir paling tinggi dibandingkan dengan persentase beras kepala dan beras patah. Hal ini menunjukkan mutu beras masih rendah.

Pada proses penggilingan, beras patah dan menir tidak dikehendaki. Yang dikehendaki adalah sebanyak mungkin beras kepala. Namun timbulnya beras patah dan menir tidak dapat dihindari. Timbulnya beras patah dan menir terutama terjadi pada proses penyosohan, yaitu pada saat menggosok permukaan beras untuk melepaskan bagian bekatul.

Selain kinerja mesin penggiling, terjadinya beras patah juga ditentukan oleh kualitas gabah sebelum digiling. Dengan penanganan yang kurang tepat, gabah dapat menjadi mudah patah atau retak, atau bahkan telah patah sebelum digiling. Gabah dapat patah atau retak selama penanganan pasca panen sebagia kaibat dari adanya perubahan cuaca, terutama fluktuasi suhu dan kelembaban relatif udara. Ini bisa terjadi apabila perubahan hari panas dan hujan terjadi berkali-kali dalam jangka waktu yang lama. Fluktuasi ini menyebabkan butiran gabah mengkerut dan mengembang dengan interval tidak teratur sehingga terjadi keretakan. Keretakan serupa juga dapat terjadi apabila dilakukan metode pengeringan yang tidak tepat.

 

 

KESIMPULAN

Kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Hasil rendemen yang diperoleh kelompok kami dalam praktikum kali ini sebesar 61%. Nilai ini belum mancapai kriteria rendemen yang baik karena kurang dari 65%. Dari hasil percobaan yang kami peroleh, didapat persentase beras kepala adalah sebesar 41.2%, beras patah 16.6%, dan menir 42.2%. Besarnya persentase menir paling tinggi dibandingkan dengan persentase beras kepala dan beras patah. Hal ini menunjukkan mutu beras masih rendah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Allidawati dan B.Kustianto. 1989. Metode uji mutu beras dalam program   pemuliaan padi. Dalam: Ismunadji M., M. Syam dan Yuswadi. Padi Buku    2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan             Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 363-375.

Anonim. 1983. Studi Konservasi dan Susut Gabah ke Beras Tingkat Nasional.       Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Badan Urusan Logistik, Badan     Perencanaan Pembangunan Nasional, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.     Bogor.

BPS. 1996. Badan Pusat Statistik Indonesia.

Damardjati, D.S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. Dalam: Ismunadji, M.,       S.Partohardjono, M.Syam, A.Widjono. Padi-Buku 1. Balai Penelitian dan          Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian,        Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 103-     159.

Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Dalam: Suryana, A. Dan S.Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Penerbit Lembaga      Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas             Indonesia (LPEM-FEUI).

Nugraha, U.S., S.J.Munarso, Suismono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang     rendemen beras giling dan susut pascapanen: 1. Masalah sekitar rendemen      beras giling, susut dan pemecahannya. Makalah. Balai Penelitian Tanaman          Padi. Sukamandi. 15 Hal.

Purwanto, Y.A. 2005. Kehilangan pasca panen padi kita masih tinggi. Inovasi        Online Vol. 4/XVII/Agustus 2005.

Waries, A. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT Gramedia Pustaka Utama.         Jakarta.


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman pare (Momordica charabtia) merupakan tanaman sayuran buah yang memiliki khasiat yang cukup banyak bagi kesehatan manusia. Tanaman pare dapat mengobati berbagai macam penyakit seperti demam, disentri, obat cacing, obat batuk, antimalaria, seriawan, penyembuh luka, dan penambah nafsu makan, bahkan tanaman pare juga berkhasiat untuk menurunkan gula darah.

Tanaman pare mudah dibudidayakan serta tumbuhnya tidak tergantung musim. Sehingga tanaman pare dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, atau ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar, untuk diambil buahnya. ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau. Melihat khasiat dan kegunaan yang cukup banyak dari tanaman pare serta budidayanya yang tergolong mudah maka budidaya tanaman pare perlu dilakukan. Tanaman pare sudah banyak dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. Umumnya, pembudidayaan dilakukan sebagai usaha sampingan.

Tujuan

Tujuan dari kegiatan pratikum ini adalah untuk mengetahui tanaman obat pare dan mengetahui teknik budidaya tanaman obat pare yang baik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman pare (Momordica charabtia) berasal dari kawasan Asia Tropis. Pare tergolong tanaman semak semusim, yang hidupnya menjalar atau merambat, dengan sulur berbentuk spiral. Daunnya tunggal, berbulu, berbentuk lekuk tangan, dan bertangkai sepanjang 10 cm. Bunganya berwarna kuning-muda. Batangnya bermawna hijau,  massif, mempunyai rusuk lima, berbulu agak kasar ketika masih muda, namun setelah tua gundul,. Buahnya buni, bulat telur memanjang, warna hijau, kuning sampai jingga, dan rasanya pahit. Biji keras, warna cokelat kekuningan.

Jenis Pare

Pare Gajih

Pare ini paling banyak dibudidayakan dan paling disukai. Pare ini biasa disebut pare putih atau pare mentega. Bentuk buahnya panjang dengan ukuran 30-50 cm, diameter buah 3 – 7 cm, berat rata-rata antara 200-500 gram/ buah.

Pare Hijau

Pare hijau berbentuk lonjong, kecil dan berwarna hijau dengan bintil-bintil agak halus. Pare ini banyak sekali macamnya, diantaranya pare ayam, pare kodok, pare alas atau pare ginggae. Dari berbagai jenis tersebut paling banyak ditanam adalah pare ayam. Buah pare ayam mempunyai panjang 15 – 20 cm. Sedangkan pare ginggae buahnya kecil hanya sekitar 5 cm. Rasanya pahit dan daging buahnya tipis. Pare hijau ini mudah sekali pemeliharaannya, tanpa lanjaran atau para-para tanaman pare hijau ini dapat tumbuh dengan baik.

Pare Import

Jenis pare ini berasal dari Taiwan. Benih Pare ini merupakan hybrida yang final stock sehingga jika ditanam tidak dapat menghasilkan bibit baru. Jika dipaksakan juga akan menghasilkan produksi yang jelek dan menyimpang dari asalnya. Di Indonesia terdapat tiga varietas yang telah beredar yaitu Known-you green, Known-you no. 2, dan Moonshine. Perbedaan ketiga jenis pare import ini adalah mengenai permukaan kulit, kecepatan tumbuh, kekuatan penampilan, bentuk buah dan ukuran buah.

Pare Belut

Jenis Pare ini memang kurang populer. Bentuknya memanjang seperti belut panjangnya antara 30 -110 cm dan berdiameter 4-8 cm.

Kandungan

Buahnya mengandung albiminoid, karbohidrat, dan zat warna, daunnya mengandung momordisina, momordina, karantina, resin, dan minyak lemak, sementara akarnya mengandung asam momordial dan asam oleanolat. Bijinya mengandung saponin, alkaloid, triterprenoid, dan asam momordial.

Tabel 1. Kandungan gizi buah dan daun pare

zat gizi Buah Pare Daun Pare
Air 91,2    g 80,0    g
Kalori 29,0    g 44,0    g
Protein 1,1    g 5,6    g
Lemak 1,1    g 0,4    g
Karbohidrat 0,5    g 120,0    g
Kalsium 45,0 mg 264,0 mg
Zat Besi 1,4 mg 5,0    g
Fosfor 64,0 mg 666,0 mg
Vitamin A 18,0  SI 5,1 mg
Vitamin B 0,08 mg 0,05 mg
Vitamin C 52,0 mg 170,0 mg
Folasin 88,0 mg

Manfaat

Manfaat buah pare bagi kesehatan manusia adalah :

Ö        Merangsang nafsu makan

Ö        Menyembuhkan penyakit kuning

Ö        Memperlancar pencernaan

Ö        Obat malaria

Selain buah pare, ternyata daun pare juga memiliki manfaat yang tidak kalah dengan buahnya. Manfaat tersebut antara lain:

Ö        Menyembuhkan mencret pada bayi

Ö        Membersihkan darah bagi wanita yang baru melahirkan

Ö        Menurunkan panas

Ö        Dapat mengeluarkan cacing kremi

Ö        Menyembuhkan batuk

Syarat Tumbuh

Pare mudah tumbuh di mana saja. Pare dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1-1.500 m dpl. Tanah yang cenderung asam justru disukainya sehingga tidak perlu dilakukan pengapuran. Pare dapat tumbuh optimal pada pH tanah 5-6. Bila derajat keasamannya dibawah 5, tanaman pare juga masih dapat tumbuh baik.

Tanaman ini tidak memerlukan banyak sinar matahari, sehingga dapat tumbuh subur di tempat-tempat yang agak terlindung.

Pemeliharaan

Tanaman pare yang berumur 2-3 minggu perlu diberi rambatan. Setiap tanaman diberi bambu. Keempat ujung bambu disambung dengan bambu lain. Tinggi parapara bambu ini sekitar 2 m. Tinggi dan model para-para bisa dimodifikasi sendiri untuk luasan pertanaman yang bcrbeda.

Bunga yang tumbuh terhimpit akan luput dari proses pembuahan. Pemangkasan tanaman pare dilakukan 2 kali. Pertama saat tanaman berumur 3 minggu. Cabang-cabang dipotong dan diarahkan agar tunasnya tumbuh menyebar. Cabang yang menyebar penting untuk produksi buah yang banyak dan merata di setiap percabangan.

Pangkasan berikutnya dilakukan saat tanaman berumur 6 minggu. Pada saat ini cabang yang tua dan tidak tumbuh lagi dipotong. Selain itu, daun yang tua dibuang, begitu juga cabang yang rusak, patah, atau terkena serangan penyakit. Pembungkusan pare muda dilakukan untuk menjaga kualitas buah, terutama sebagai upaya melindungi buah pare dari serangan lalat buah atau serangga lainnya. Bila terlambat dilakukan, dapat mengurangi kualitas buah yang dihasilkan. Sebagai pembungkus pare, dapat digunakan dedaunan, kertas koran, plastik tipis, ataupun bahan pembungkus lain.

Penutup buah dibiarkan hingga tiba masa panen. Pemupukan Tanaman pare perlu dipupuk agar mampu berproduksi dengan baik. Jenis pupuk yang diperlukan tak hanya pupuk organik, melainkan juga anorganik. Pupuk kandang sebagai pupuk organik diberikan saat pengolahan tanah sebanyak 10-15 ton/ha. Selain itu tambahkan pupuk NPK sebanyak 20 g/lubang tanam atau sekitar 170-200 kg/ha.

Penyiangan gulma dilakukan dengan mencabut atau mengored rumput-rumput liar yang tumbuh di areal penanaman. Karena jarak tanam yang digunakan tergolong lebar, maka gulma akan lebih banyak tumbuh. Itulah sebabnya penyiangan harus rutin, paling tidak seminggu sekali. Sambil melakukan pencabutan rumput lakukan pula pendangiran. Tanah di sekitar pertanaman dibalik dan dikored agar gembur.

Hama dan Penyakit

Hama oteng-oteng atau lembing (Epilachna sparsa) sering menghabiskan daun pare. Hama tersebut dapat daun menghabiskan daun hingga yang tersisa tulang daun beserta jalur-jalur kecil mesofilnya sehingga daun menjadi kering kecokelatan. Bila ini dibiarkan, produksi buah bisa berkurang.

Siput juga dapat menyerang tanaman pare. Tanaman terkoyak-koyak dan rusak. Bila tanaman masih kecil, serangan siput bisa mematikan.

Penyakit yang biasanya menyerang tanaman pare adalah penyakit embun bulu. Daun yang terserang menunjukkan gejala bercak-bercak kuning di bagian atas daun, bagian bawahnya terdapat bulu-bulu berwarna ungu. Penyebabnya adalah jamur Pseudoperonospora cubensis. Serangan hebat dapat menurunkan produksi bahkan mematikan tanaman.

Panen dan Pasca Panen

Pare yang sudah siap untuk dikonsumsi dapat langsung dipanen. Biasanya panen pertama dilakukan 2 bulan setelah tanam. Ciri-ciri pare yang tepat untuk dikonsumsi ialah belum tua benar, bintil-bintil dan keriputnya masih agak rapat, dan alumya belum melebar. Ukuran panjang pare gajih yang layak dikonsumsi sekitar 25-30 cm dan pare hijau 15-20 cm.

Pemetikan pare sebaiknya tidak dengan tangan. Pohon sering ikut tertarik bila dilakukan dengan cara demikian. Sebaiknya pemetikan buah dilakukan dengan pisau atau alat potong lainnya yang tajam. Buah pare gampang lecet sehingga dapat mempengaruhi kualitasnya. Untuk itu, pare disusun tanpa terlalu banyak tumpukan. Hindari pemuatan dalam wadah yang memungkinkan banyak terjadi gesekan. Usahakan selama dalam pengangkutan buah pare tidak terguncang-guncang.

BAB III

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan pratikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan University Farm Institut Pertanian Bogor pada  September – Desember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 2 varietas benih pare dan pupuk kandang sapi, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah alat-alat pertanian pada umumnya.

Metode Pelaksanaan

Setiap kelompok mahasiswa diminta menanam satu komoditi tanaman obat yang kemudian akan diadakan pengamatan setiap minggunya untuk dijadikan data yang akan digunakan untuk pembuatan laporan akhir.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkecambahan

Pada pratikum penanaman tanaman pare dilakukan pengamatan terhadap daya berkecambah benih. Daya kecambah benih yang diperoleh pada pratikum ini adalah 65%. Daya kecambah ini sangat rendah karena pada umumnya daya kecambah tanaman pare tidak kurang dari 90%. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, pertama adalah benih yang digunakan. Benih yang digunakan sebaiknya adalah benih yang bersertifikat karena sudah terjamin kualitasnya. Benih yang kadaluarsa sebaiknya tidak digunakan dalam kegiatan budidaya, karena akan menyebabkan kegagalan dalam budidaya yang dilaksanakan. Namun, dalam penanaman tanaman pare pada pratikum ini diketahui benih yang digunakan sudah kadaluarsa, sehingga menyebabkan banyak benih yang tidak berkecambah dan pada akhirnya menyebabkan daya berkecambah benih semakin kecil.

Kedua adalah kondisi lingkungan saat penanaman benih. Benih akan tumbuh optimum apabila kondisi lingkungannya mendukung. Ketersediaan air saat perkecambahan benih adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan perkecambahan benih. Kondisi air yang cukup akan membuat perkecambahan benih optimal dan juga sebaliknya kondisi air yang kurang akan menyebabkan banyak benih yang gagal berkecambah. Pada saat penanaman benih tanaman pare kondisi lingkungan kering karena sudah beberapa hari tidak hujan, ditambah parah lagi penanaman dilakukan saat hari mulai siang hanya mengandalkan air hujan untu perkecambahannya. Hal ini diduga menyebabkan banyak benih yang gagal berkecambah.

Pertumbuhan Tanaman

Selama pertumbuhan tanaman pare, dilakukan pengamatan terhadap jumlah daun, jumlah cabang, jumlah bunga, dan jumlah buah pare yang dihasilkan. Pertumbuhan daun tanaman pare sangat cepat, hal ini karena memang dikarenakan sifat tanamannya yang merambat. Jumlah daun tanaman pare pada minggu kedua hanya berkisar 1-3 daun, namun pada minggu keenam jumlah daun tanaman pare sudah berkembang sangat banyak menjadi rata-rata 43 daun pertanaman dan terus bertambah banyak lagi pada minggu berikutnya sehingga tidak dilakukan pengamatan daun akibat terlalu banyaknya daun tang tumbuh. Namun sangat disayangkan tidak didapatkan data pertumbuhan jumlah daun pare pada minggu ke 3, 4, dan 5. Sehingga tidak dapat diperoleh waktu optimum pertumbuhan daun tanaman pare. Tanaman pare memiliki cabang primer dan cabang sekunder. Cabang primer tanaman pare pada umumnya berkisar dari 2 – 4 cabang primer. Namun, tanaman ini mempunyai sangat banyak cabang sekunder.

Salah satu indikator keberhasilan dalam budidaya tanaman adalah besarnya produk yang dihasilkan. Pembuahan sangat ditentukan oleh pembungaan tanaman. Pembungaan tanaman pare sudah mulai terlihat semenjak minggu ke enam. Pada minggu ke enam rata-rata jumlah bunga adalah 1 – 2 bunga pertanaman. Pada minggu ke sembilan jumlah bunga yang dihasilkan hanya berkisar 2-3 pertanaman.  Hasil yang rendah ini diduga diakibatkan karena bunga tanaman ini yang mudah jatuh apalagi dengan kondisi cuaca yang berangin dan sering hujan sehingga bunga menjadi lebih mudah rontok. Rendahnya jumlah bunga yang muncul pada akhirnya menyebabkan rendahnya buah pare yang dihasilkan pada minggu ke sembilan jumlah buah yang muncul hanya berkisar 1 – 2 buah pertanaman. Data lengkap pengamatan pare dapat dilihat dari tabel dua.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pare per 10 tanaman
Objek Pengamatan Minggu
3 6 9
Jumlah Daun 25 433
Jumlah Cabang 14 24 31
Jumlah Bunga 0 14 22
Jumlah Buah 0 4 15

Hasil Panen

Kegiatan panen tanaman pare dilakukan saat tanaman berumur empat bulan. Hasil yang diperoleh pada pratikum ini tidak sampai 1 kg atau tepatnya 2 kuintal per Ha. Hasil ini sangat rendah dibandingkan hasil panen pare pada umumnya yang dapat mencapai 7 kuintal per Ha. Hasil panen tanaman pare dapat dilihat dalam tabel 3. Rendahnya hasil yang diperoleh diduga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama benih yang digunakan dalam penanaman pare sudah kadaluarsa sehingga menyebabkan rendahnya daya kecambah benih dan kualitas pertumbuhan tanaman pare yang ditanam.

Tabel 3. Hasil Panen Tanaman Pare
Tanaman Jumlah Buah Berat Buah Berat Brangkasan
(gram) (gram)
1 3 8 100
2 0 0 52
3 3 0.1 95
4 0 0 0
5 6 20 158
6 4 15 222
7 2 0.05 72
8 1 0.05 129
9 6 26 277
10 1 0.2 123
Total 26,0 69,0 1228,0
Rata-rata 2,6 6,9 122,8
Hasil 1 lahan 30m² 208,0 552,0 9824,0
Hasil 1 Ha 69333,3 184000,0 3274666,7

Faktor kedua adalah teknik budidaya yang digunakan saat penanaman. Pada penanaman pare diperlukan pembuatan ajir dan para-para. Ajir berfungsi sebagai tempat bersendernya tanaman, sedangkan para-para berfungfi sebagai temat bergantungnya buah pare agar tidak menyentuh tanah. Dikarenakan minimnya pengalaman pratikan, hanya dilakukan penyiapan ajir, dan tidak dibuat para-para. Hal ini menyebabkan buah tidak terbentuk optimal yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya produksi yang dihasilkan. Selain itu, tidak dilakukannya pemupukkan anorganik pada penanaman tanaman pare menyebabkan rendahnya kualitas dan kuantitas pare yang diperoleh. Pada pratikum ini hanya dilakukan pemupukan pada saat awal penanaman yaitu dengan pupuk kandang sapi. Pada umumnya tanaman pare akan tumbuh baik jika diberikan pupuk urea 30 gram/Ha, TSP 60 gram/Ha, dan KCl 60 gram/Ha.

Selain karena faktor teknik budidaya tidak tepat, kondisi iklim yang tidak mendukung juga menjadi penyebab rendahnya produksi pare yang dihasilkan. Kondisi kering saat penanaman menyebabkan rendahnya benih yang dapat berkecambah. Kondisi iklim yang sering hujan saat tanaman mulai berbunga sampai berbuah menyebabkan banyak bunga yang rontok sehingga gagal berbunga. Kondisi basah dan lembab pun menyebabkan beberapa tanaman terserang penyakit yang menyebabkan tanaman mati.

Faktor terakhir adalah serangan hama dan penyakit pada tanaman. Hama yang menyerang tanaman pare yang ditanam antara lain adalah kumbang aulacophora silimis, kepik leptoglossus ausralis, dan lalat buah. Sedangkan penyakit yang menyerang adalah penyakit embun tepung. Penanganan terhadapa serangan hama dan penyakit hanya dilakukan secara manual bukan dengan biologi atau kimia sehingga serangan menjadi lebih sulit dikendalikan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Keberhasilan budidaya tanaman pare sangat ditentukan dari penggunaan teknik budidaya yang dipakai, kecermatan dalam melakukan pemeliharaan dan pengendalian, dan sangajuga sangat dipengaruhi oleh benih yang berkualitas.

Perencanaan yang baik, sepertik teknik yang akan digunakan varietas yang akan dipakai, dan waktu penanaman pare akan sangat membantu untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan budidaya tanaman pare.

BAB VI

Daftar Pustaka

Dilla. 2008. Khasiat dalam pahit pare. http://sehat.suaramerdeka.com. [11 Desember 2008]

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. 1996. Usaha tani tanaman pare.

Ipteknet. 2005. Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=92 [11 Desember 2008]

Ipteknet. 2005. Pare. http://www.iptek.net.id. [11 Desember 2008]

Sianturi. G. 2002. Melawan Wabah diabetes dunia dengan buah pare. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1025597117,76900, [11 Desember 2008]

DISUSUN OLEH : ADITYA RAHMAN,  ARI PURWANTI,  ARYA WIDURA RITONGA,  BUNGA DARA PUSPITA,  RATIH KUMALA DEWI,  RIFKA ERNAWAN I.,    dan YUSNITA SARI

Download pdf Laporan Penanaman Pare di Lapang